What my heart wants to say...

Papa, I'm So Sorry...

Siang ini, ditengah kesibukan akan tugas kuliah yang menumpuk dan menuntut untuk segera diselesaikan, saya menyempatkan diri untuk menonton film King. Mungkin terlambat juga menonton film ini karena film ini sudah lama diputar beberapa bulan yang lalu di bioskop. Namun karena saya merasa penat dengan tugas kuliah, maka saya putuskan untuk menonton film tersebut untuk sekedar menyegarkan otak.

Diawal film, saya merasa tak ada adegan yang sangat menyentuh. Semua berjalan biasa saja. Hanya bercerita tentang seorang bapak yang menginginkan anaknya menjadi pemain bulutangkis terkenal seperti Liem Swie King yang diidolakannya. Cerita di film tersebut bergulir begitu saja. Hingga suatu adegan dimana sang anak yang bernama Guntur marah pada ayahnya ketika sang ayah tidak membelikannya raket yang baru untuk bertanding di suatu liga.


Guntur marah kepada ayahnya karena menjadi seorang atlet badminton terkenal adalah keinginan ayahnya. Bukan keinginannya. Sedangkan ketika ia menginginkan raket baru diwaktu liga, yang ada bukanlah raket baru dari ayahnya, melainkan pinjaman raket dari kawannya yang lebih dewasa yang sudah bekerja menjadi pegawai negeri. Guntur merasa ayahnya sangat keterlaluan. Tidak mau memberikan fasilitas yang ia butuhkan. Raket yang ia gunakan ketika liga adalah raket kayu yang sudah rusak.

Malamnya, Guntur marah pada ayahnya. Guntur mengunci pintu rapat-rapat. Tidak mau bertemu ayahnya. Padahal saat itu sebenarnya Guntur telah memenangkan liga. Ayahnya mengira Guntur kalah dan beliau mau memaklumi kekalahan tersebut. Setelah beberapa menit Guntur dibujuk oleh sang ayah, Guntur akhinya mau keluar kamar. Bukan kata maaf atau kalimat bernada rendah yang diucapkannya, melainkan Guntur meluapkan semua kekesalan hatinya kepada sang ayah. Ia merasa ayahnya tidak perhatian. Tidak membelikan raket baru. Yang meminjamkan raket ternyata sahabat karibnya yang sudah seperti kakaknya sendiri. Mendengar perkataan sang anak, beliau pun tertegun. Dan Guntur kembali menutup pintu kamarnya.

Esoknya, Guntur mengeluarkan semua bulu angsa dalam karung yang telah dirapikan oleh ayahnya. Guntur masih kesal dengan sikap ayahnya kemarin. Tiba-tiba ketika ia sedang "marah-marah dengan caranya sendiri", datanglah kawannya yang seorang pegawai negeri itu dengan membawa televisi. Televisi yang sempat dibawa pergi oleh ayahnya entah untuk apa. Dan kini televisi itu sudah dikembalikan ke rumahnya. Layaknya seorang sahabat, pegawai negeri tersebut bertanya kepada Guntur tentang apa sebab ia melakukan hal tersebut. Pegawai negeri tersebut kemudian marah dan mengatakan kepada Guntur bahwa ia tidak tahu berterima kasih, tidak tahu bersyukur. Kemudian pegawai negeri tersebut berkata kepada Guntur bahwa yang memintanya untuk meminjamkan raketnya tersebut adalah ayah Guntur sendiri. Namun karena ayah Guntur tidak mau dianggap seperti pengemis, maka ayah Guntur memberikan televisi di rumahnya sebagai jaminan dari raket pinjaman tersebut. Mendengar pernyataan dari kawannya tersebut, Guntur mulai sadar bahwa ayahnya sebenarnya sangat sayang padanya. Mulai saat itu, Guntur tidak ingin membuat ayahnya berkorban lebih banyak lagi. Namun bagaimanapun, tanggung jawab seorang ayah ialah memberikan fasilitas belajar yang dibutuhkan anaknya.

Melihat cerita tersebut, saya tiba-tiba teringat papa di kantor. Beliau bekerja dari pagi hingga malam. Hanya untuk menghidupi kami. Saya merasa belum menjadi anak yang pandai bersyukur. Saya merasa belum memberikan yang terbaik bagi kedua orang tua. Dan saya mendadak merasa menjadi anak paling durhaka!

Orang tua saya telah berkorban harta, waktu, dan sebagainya hanya untuk saya dan kakak saya. Namun mengapa hanya ini hasil yang saya bisa persembahkan?

IPK dibawah 3,00 dengan pengeluaran yang begitu besar. Namun apa yang dikorbankan belum sepadan dengan apa yang dihasilkan...

Ya Rabb... Ampuni aku...
Papa, maafkan aku...