What my heart wants to say...

Belajar Menghargai dan Mensyukuri Perbedaan

Sore ini, saya baru bangun tidur. Mencuci muka dan kembali ke depan laptop, sekedar mendengarkan lagu dan mengecek pesan-pesan yang masuk ke dalam e-mail. Karena merasa lapar, saya membuka permen cokelat sebagai cemilan. Tak lama kemudian seorang kawan saya terbangun karena suara musik dari laptop saya yang (mungkin) besar. Ketika saya melihat wajahnya, saya tiba-tiba berfikir bahwa kami berbeda. Baik itu berbeda suku, wajah, sifat, maupun kebiasaan sehari-hari.

Ingatan saya kembali ke masa lalu. Masa dimana saya masih baru lulus Sekolah Dasar (SD), tidak mengikuti acara "jalan-jalan" dengan kawan-kawan SD saya karena saya harus mengikuti ujian masuk pesantren. Sedih rasanya tidak menghadiri acara terakhir saya dengan teman-teman SD. Karena mungkin saja setelah tamat SD, kami semua tidak akan bertemu lagi. Entah itu karena tujuan hidup masing-masing berbeda, atau memang telah menyelesaikan "skenario" yang dibuat Sang Pencipta.

Saya "terdampar" di sebuah pesantren yang, menurut saya, bukan pesantren. Areanya yang terlalu luas untuk ukuran pesantren membuat saya tidak menganggap itu sebagai pesantren biasa. Entah apa namanya. Di pesantren itu pula saya bertemu dengan orang-orang dari berbagai kota, provinsi, pulau, bahkan berbagai negeri. Tak hanya orang Indonesia saja yang tinggal dalam komplek pesantren itu. Namun banyak juga orang-orang dari negara tetangga yang bersekolah di pesantren itu. Rasanya hampir tak percaya. Bertemu dengan orang-orang yang jumlahnya ribuan, dengan karakter yang berbeda-beda, logat yang berbeda-beda, dan sifat yang berbeda-beda pula.

Mungkin sifat orang-orang dari suku Jawa berbeda dengan sifat orang-orang dari suku Batak. Si A sifatnya keras dan agak kasar, namun sebenarnya orangnya baik dan penyayang. Si B sifatnya halus dan ramah, namun dibalik halus sifat dan tata kramanya itu dia mudah tersinggung. Si C nada bicara tinggi seperti orang marah-marah, namun sebenarnya candaan dia seperti itu. Dan bermacam-macam sifat yang dimiliki orang lain. Di awal mungkin sulit menyesuaikan diri dengan karakter manusia yang berbeda-beda. Namun lambat laun setiap orang harus bisa memaklumi perbedaan yang telah terbentuk.

Selama hampir sembilan tahun saya bersekolah di pesantren itu. Bukan "bersekolah", namun kata "dididik" saya rasa lebih tepat. Sejak tamat SD sampai menempuh perguruan tinggi, yaitu perkuliahan. Tak terasa hampir sembilan tahun terlewati, namun kenangan di hari pertama masih saja seperti hari kemarin. Pendidikan di pesantren itu sampai sekarang masih melekat. Tak hanya menjadi semboyan pesantren, bahkan menjadi suatu hal yang dapat saya terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pusat Pengembangan Budaya Toleransi Serta Pengembangan Budaya Perdamaian
Bermula dari semboyan diatas, saya akhirnya menyadari betapa berharganya perbedaan tersebut. Banyak hal yang dapat kita ambil hikmahnya dari suatu perbedaan.  Memang perbedaan menjadikan sekelompok masyarakat berselisih dengan kelompok masyarakat yang lain. Hal tersebut terjadi jika masing-masing sibuk mencari-cari perbedaan dan alasan perselisihan tersebut. Saya rasa, setiap orang baiknya memikirkan jalan keluar dari suatu masalah dengan cara baik-baik dan menguntungkan pihak-pihak yang berselisih. Mencari-cari dan mempublikasikan kekurangan orang lain akan membuat kita semakin bodoh karena orang lain akan mengganggap kita tidak mengetahui apa yang tidak kita ketahui. 

Maka dari itu, belajar menghargai perbedaan tidak ada salahnya. Berawal dari menghargai perbedaan, lama-lama perbedaan suatu hal yang dapat kita syukuri. Perbedaan menjadikan satu sama lain saling melengkapi. Mungkin perbedaan akan menjadi pembatas. Namun jika pihak-pihak yang berselisih mau merenung, banyak hal yang menguntungkan dari sebuah perbedaan.

One Response so far.

  1. depalpiss says:

    Hi salam damai juga sobat! & salam kenal juga sobat. Artikel yang baik!!